meBeberapa  jam yang lalu pesawat yang aku tumpangi mendarat di bandara Soekarno-Hatta setelah kurang lebih 2 jam penerbangan dari Bandara Udara Sultan Hasanuddin Makassar, kini aku berada lagi di tempat favoritku, Dapur Selera di sekitar pancoran jakarta Selatan. Nyaris setiap kali ke Jakarta aku tak pernah melewatkan tempat ini, menyantap makan malam atau sekedar memesan cappucino ala Dapur Selera. Seperti biasa pula aku lebih menikmati duduk diluar menikmati udara malam sambil menghabiskan berbatang-batang sampoerna mild kesukaanku (maaf ini bukan iklan komersil).

Hampir setengah jam di tempat ini, ponselku bergetar, Yusuf teman masa kecilku yang kini tinggal di ibukota menelpon. “besok jam brapa aku jemput bro?”, tanyanya dari seberang. “ Jam 9 bro klo bisa”, balasku singkat. Besok pagi aku memang harus ke salah satu kantor pemerintahan di Jalan Gatot Subroto untuk menuntaskan tugas dari pimpinan di kantorku. “Ok bro, tapi cepat bangun ya, jangan sampe aku lama nunggu kamu di depan hotel, hahaaa”, kelakarnya mengingatkan aku akan kebiasaanku yang suka telat bangun pagi. “Sipp bro, janji ga akan telat”, jawabku sambil tertawa kecil.

Sahabat aku yang satu ini memang sangat fasih dengan kebiasaanku, semasa masih kecil di kampung, rumah orang tua kami memang bersebelahan. Selayaknya orang yang bertetangga di kampung keluarga kami cukup akrab, dan itu membuat kami berdua menjadi sahabat yang kental apalagi kami berdua seumuran sehingga mulai dari SD sampai SMA kami selalu satu sekolah. Saat kuliah kami mulai jarang bertemu, aku masuk lebih dulu di fakultas ISIPOL, setahun kemudian dia menyusul masuk di Fakultas Teknik setelah menikmati masa istirahatnya selama setahun.

“Aku cukup bahagia dengan kehidupan dan pekerjaan seperti ini bro, santai dan penghasilan lumayan lancar” katanya pada suatu hari saat kami sedang menikmati masakan padang di sekitar bandara. Aku tersenyum, turut berbahagia menikmati pancaran wajahnya yang tanpa beban.Dia mulai bercerita tentang rumah tangganya, anak-anaknya yang bandel-bandel, “persis seperti bapaknya dulu”, selorohnya sambil tertawa mengingatkan akan masa-masa kecil kami yang dipenuhi kenakalan-kenakalan. Yahhh, memang sungguh luar biasa, kenangan masa kecil memang tiada bandingnya. Suatu momen dimana dunia hanyalah sebuah permainan dan tak pernah tersentuh oleh kerasnya realitas kehidupan.

“Saya sungguh bersyukur, tidak kerja di pemerintahan kayak kamu, jadi sampai sekarang aku masih tetap gagah dan awet muda, tidak seperti kamu, muka dah kayak orang tua, selalu keliatan kusut persis orang stress”, katanya sambil tertawa lepas, “that’s right brother, tapi gimana pun cewek-cewek masih lebih milih aku dibanding kamu,”balasku sambil ikut tertawa. Ahhh selalu saja ada momen-momen yang indah saat bertemu sahabat lama kayak saat ini.

“Udah siap pesan makanannya mas?”, suara ramah dari sang pelayan mengalihkan lamunanku. Sejenak aku tertegun menatapnya sebelum sebuah anggukan kecil mengawali jawabanku, “coto betawi dengan nasi satu porsi mbak” jawabku sambil menyerahkan kembali buku menunya. “baik mas, mohon tunggu sebentar”, balasnya sambil tersenyum. Aku membalas senyum sang pelayan sebelum dia membalikkan tubuhnya dengan gerakan yang pelan dan gemulai bak seorang penari. Aku hanya bisa menikmati siluet tubuhnya yang indah menghilang di pintu masuk. Sempurna …pikirku.